RAYA PUBLIK. COM
GUNUNG Lawu yang kokoh berdiri menjulang dengan ketinggian 3.265 meter di atas permukaan tanah (Mdpl) menyimpan kisah tentang moksanya (menghilangnya) Prabu Brawijaya V dan pengikut setianya yang menjelma menjadi burung jalak berwarna gading.
Kisah moksanya Raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V di Gunung Lawu dan misteri yang menyelimutinya masih diyakini kebenarannya dan menjadi cerita turun temurun masyarakat hingga kini.
Gunung Lawu yang wingit (angker) dan penuh misteri lokasinya tepat berada di perbatasan wilayah Karanganyar, Jawa Tengah, Ngawi dan Magetan, Jawa Timur.
Dyah Ranawijaya atau disebut Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Brawijaya V memerintah Kerajaan Majapahit pada periode 1468-1478. Sebelum memutuskan bersemedi dan moksa di Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V mendapat wangsit lewat mimpi.
Wangsit itu mengisyaratkan bahwa Kerajaan Majapahit yang memiliki kepercayaan agama Hindu bakal segera runtuh dan kekuasaan akan beralih ke Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V. Kerajaan Demak memiliki kepercayaan agama Islam.
Saat meninggalkan istana Kerajaan Majapahit untuk bersemedi di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V didampingi pandita dan penasehat setianya yang bernama Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Selanjutnya dalam perjalanan mendaki lereng Gunung Lawu seperti dikutip dari sejarah lengkap, rombongan Prabu Brawijaya V bertemu dengan dua orang kepala dusun setempat, yakni Wangsa Manggala dan Dipa Manggala.
Keduanya ingin menemani Prabu Brawijaya yang sedang dilanda kesedihan untuk naik ke puncak Gunung Lawu. Rombongan pun kemudian mendaki Gunung Lawu. Namun di tengah perjalanan, Prabu Brawijaya V mengeluarkan titah untuk mengangkat Dipa Manggala sebagai penguasa Gunung Lawu dengan gelar Sunan Gunung Lawu.
Sedangkan Wangsa Manggala oleh Prabu Brawijaya V diangkat sebagai patih dengan gelar Kiai Jalak.
Prabu Brawijaya V juga memutuskan untuk meninggalkan kehidupan dunia dan moksa. Tempat moksa Prabu Brawijaya V di puncak Gunung Lawu yang bernama Hargo Dalem. Setelah moksa, hingga kini jasad maupun makamnya tak diketemukan hingga kini.
Sedangkan Sabdo Palon pun memutuskan ikut moksa di puncak Gunung Lawu yang bernama Hargo Dumiling.Sementara lokasi tempat semedi yang merupakan puncak tertinggi di Gunung Lawu disebut Hargo Dumilah.
Setelah Prabu Brawijaya menghilang, salah satu pengikutnya, yakni Wangsa Manggala diberi gelar Ki Jalak dan menjelma menjadi burung jalak berwarna gading yang hidup di Gunung Lawu. Para pendaki hingga kini konon masih sering menjumpai penampakan Jalak Gading.
Keberadaan Jalak Gading ini justru memberikan petunjuk jalan kepada pendaki yang tersesat dan punya tujuan baik.
Namun sebaliknya, pendaki yang punya niat buruk dan bertemu dengan jalak gading maka akan bernasib apes ketika berada di Gunung Lawu.
Terkenal Mistis
Sejumlah pendaki yang pernah menjelajahi Gunung Lawu menuturkan pengalaman mistis yang mereka temukan.
Di antaranya tentang keberadaan Pasar Setan yang berada di lereng gunung, tepatnya pada jalur Candi Cetho.
Di area yang banyak ditumbuhi ilalang ini seringkali ditemukan suara bising, seperti suasana di pasar pada umumnya. Anehnya, tidak terlihat apapun di atas padang ilalang.
Hanya suara bising yang tidak bersumber. Tapi beberapa pendaki ada yang mengaku mendengar suara orang menawarkan dagangan, seperti suara “Mau beli apa?”.
Menurut kepercayaan masyarakat, apabila mendengar suara bising tersebut pendaki bisa menjatuhkan salah satu barang berharganya sebagai cara untuk membeli barang atau barter di pasar ini.
Ada juga kisah misteri yang menceritakan kisah pendaki tiba-tiba merasa mendapat beban berat ketika mendaki. Padahal beban yang dibawa awalnya bisa dibawa dengan mudah. Namun di lokasi tertentu, beban yang dibawa terasa sangat berat seakan ada yang menekannya.
Hal ini membuat para pendaki harus berhenti berulang kali karena merasa menanggung beban terlalu berat. Bahkan, sampai harus berjalan membungkuk seperti orang yang rukuk saking beratnya.
Keanehan lainnya berupa suara napas seperti manusia yang tiba-tiba didengar oleh pendaki saat melakukan perjalanan. Suaranya terdengar sangat jelas sehingga pendaki seketika akan langsung menghentikan perjalanannya.
Ada lagi suara delman khas dengan sepatu kuda dan gemericik loncengnya. Suara delman ini sempat didengarkan oleh pendaki yang secara tidak sengaja memakai baju hijau dan tenda warna hijau.
Padahal menurut masyarakat setempat, pendaki dilarang menggunakan baju dan atribut hijau saat ke puncak.
Jalur Pendakian
Mendaki ke puncak Gunung Lawu ada empat jalur yang bisa ditempuh oleh para pendaki.
Pertama -- jalur Cemoro Sewu di Magetan, Jawa Timur. Jalur ini termasuk favorit bagi pendaki Gunung Lawu yang aksesnya berada di sebelah jalan Karanganyar-Magetan dengan lima pos pendakian.
Kedua -- jalur Singolangu yang juga berada di Jawa Timur. Dikenal sebagai jalur klasik yang juga dipakai oleh Raja Brawijaya. Jalur ini dikenal cukup ekstrem sehingga tidak direkomendasikan dipakai pada malam hari. Namun, di jalur ini pendaki bisa menemukan situs peninggalan Prabu Brawijaya V.
Ketiga -- jalur Cemoro Kandang di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jalurnya landai dan berbelok sehingga biasa dipakai oleh pemula.
Keempat -- jalur terakhir adalah Candi Cetho yang ada di Kecamatan Jenawi, Karanganyar. Di jalur inilah pasar setan biasanya ditemukan oleh pendaki. Sebenarnya jalur ini paling pendek dari 3 jalur sebelumnya. Namun jalurnya sangat berbahaya karena terjal dan banyak tanjakan.
Waktu tempuh dari basecamp menuju puncak Gunung Lawu rata-rata memiliki jarak sekitar 7 km. Dengan jarak tersebut bisa diperkirakan perjalanan mendaki sampai di puncak hanya membutuhkan 7 jam saja ketika kondisi pendaki harus dalam kondisi stamina yang prima.
Pusat Spiritual
Sejak zaman Prabu Brawijaya V hingga Kesultanan Mataram banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Sehingga Gunung Lawu akhirnya dijadikan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa. Di kaki Gunung Lawu ini juga terletak kompleks pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran, yakni Astana Girilayu dan Astana Mangadeg.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni, Air Terjun Gerojogan Sewu. Di areal taman gerojogan terdapat banyak kera.
Di Gunung Lawu juga terdapat sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter. Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis atau kering walaupun diambil terus menerus.
Selain itu ada juga sumur kuno, namun meski namanya sumur namun bentuknya adalah sebuah gua kecil yang disebut Sumur Jolotundo. Tempat ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam lima meter lebih dan berbentuk seperti spiral.
Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa. Menurut cerita dari sini bisa terdengar suara debur ombak pantai laut selatan yang jauhnya mencapai ratusan kilometer dari Puncak Lawu.
Tak hanya Gunung Lawu yang penuh dengan misteri, bangunan yang ada di lereng Gunung Lawu inipun juga diselimuti misteri.
Seperti keberadaan dua candi purba Cetho dan Sukuh yang masih menjadi satu rangkaian dari misteri Gunung Lawu. Candi di bawah lereng Gunung Lawu ini dibangun menghadap ke arah kiblat atau ke arah barat tidak seperti kebanyakan candi lain di Indonesia selalu menghadap ke timur.
Lokasi candi yang terletak di ketinggian kaki Gunung Lawu ini juga seringkali diselimuti kabut tebal yang turun dengan tiba-tiba, memiliki kesan mistis yang membuat penasaran bagi yang melihatnya. Selain itu ada fenomena lain yang terjadi di sekitar Lawu.
Masyarakat sekitar lereng Gunung Lawu kono sering melihat sekelebat sinar (cahaya) yang membentuk portal (gerbang) yang berasal dari tiap sudut candi yang berbentuk segi delapan membentuk seperti gerbang ke atas, sebagai pintu masuk dimensi lain ( H)