Polisi Heroik Bukan Heroin, Polisi Empatik Bukan Arogan

Presiden Joko Widodo saat hendak memberi pengarahan kepada pejabat Mabes Polri, kapolda, dan kapolres se-Indonesia di Istana Negara, 


RAYA PUBLIK. COM
Jakarta -- KASUS Ferdy Sambo masih segar diingatan kita, peristiwa penghilangan nyawa yang akhirnya berujung pada pertunjukan ikan berkepala busuk yang disebut-sebut pernah ‘sangat berkuasa’ di dalam institusi Polri.

Di sisi lain, keluarga-keluarga korban Stadion Kanjuruhan di Malang masih berkabung, sebagian besar masih tak habis pikir mengapa anaknya maupun saudaranya bisa meregang nyawa di event olahraga yang semestinya memberikan kegembiraan dan mengedepankan sportivitas berujung dengan gas air mata.

Dalam rentang waktu yang pendek, seolah sang Kapolri tak diberi jeda untuk menghela nafas, seorang mantan Kapolda Sumbar yang semula diniatkan sebagai pengganti Kapolda Jawa Timur, justru berakhir jadi tersangka atas kasus narkoba.

Rentetan peristiwa ini mengkhawatirkan kita, bukan saja soal rentannya pertahanan moral institusi kepolisian kita, tapi juga soal semakin negatifnya persepsi publik terhadap kepolisian sebagai institusi penegak hukum di negeri ini.

Pada satu kesempatan, Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama pernah berkata, "Understand, our police officers put their lives on the line for us every single day. They've got a tough job to do to maintain public safety and hold accountable those who break the law."

Kata-kata indah untuk polisi ini tentu bukan untuk polisi kita. Tapi di mana pun di dunia ini, sejatinya persis seperti kata-kata Obama itulah rakyat semestinya memahami institusi kepolisian, di mana empati terhadap kesiapan anggota polisi untuk berkorban berpadu dengan harapan yang tinggi pada kinerja institusi kepolisian demikian pula integritas para personelnya.

Empati dari publik sangat dibutuhkan oleh polisi. Pekerjaan menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana, penuh dengan tantangan dan perjuangan, pun perlu disertai dengan pengetahuan dan kebijaksanaan.

Setiap polisi berpeluang berhadapan dengan penjahat saban waktu, mulai dari pencuri sepeda, pencuri sepeda motor yang bersenjata rakitan, pembunuh berdarah dingin, penista agama berumat ribuan, pelaku KDRT ber-follower jutaan, sampai pada koruptor yang di-backing mafia.

Karena itulah Polisi membutuhkan empati publik. Dengan empati, publik akan menempatkan dirinya di posisi polisi dan mencoba memahami betapa berat sesungguhnya tanggung jawab polisi, baik terhadap rakyat banyak, terhadap atasan, maupun terhadap Tuhan.

Bersamaan dengan empati tersebut, muncul ekspektasi. Ekspektasi tersebut tidak main-main. Sosok Bhayangkara yang mampu menumpas pencuri motor bersenjata rakitan, menenggelamkan pembunuh bardarah dingin ke dalam penjara, menggiring penista agama ke balik jeruji, membuat para pelaku KDRT jera, dan merontokkan jejaring koruptor dengan mafianya, pastilah disebut sebagai pahlawan.

Tak main-main bukan. Secara ideal, dalam tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik seperti ini, hanya pahlawan lah yang bersedia menjalankan tanggung jawab tersebut.

Jadi tak heran mengapa publik nasional merindukan figur Polisi Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso karena idealitas heroik seorang polisi memang seperti Jenderal Hoegeng.

Masalahnya, empati itu kini menipis. Rentetan kasus yang melanda institusi kepolisian belakangan, hanya bagian dari ujung cerita dari cerita panjang yang melintang bertahun-tahun lalu.

Mulai dari barter pasal dengan uang di pinggir jalan, barter proteksi dengan komisi, barter alat bukti dengan masa tahanan, adanya imperium judi online dan narkoba di rumah kepolisian sendiri, sampai pada pertunjukan hidup mewah bertaburkan barang branded, semuanya bersambung dengan peristiwa-peristiwa kekinian yang terkait dengan institusi kepolisian .

Dengan begitu, sangat tidak mungkin empati publik bisa dipanen. Lanjutannya tentu sudah bisa ditebak.

Menipisnya empati akan mengikis ekspektasi, lalu menyuburkan sikap apatis. Jika tak segera introspeksi dan melakukan antisipasi dan mitigasi, maka pelan-pelan polisi bisa tak akan lagi dianggap, apalagi dihormati.

Mamang, risiko ini menjadi tidak adil jika ditanggung oleh institusi kepolisian semata. Terlalu besar taruhan yang harus ditanggung institusi untuk dosa-dosa yang dilakukan sebagian kecil oknum aparatnya.

Karena, di satu sisi, acapkali terungkap bahwa dosa-dosa tersebut dilakukan oleh segelintir jaringan oknum polisi, dan di sisi lain terekspos secara berulang-ulang, maka lama kelamaan ikut merapuhkan kepolisian secara institusional.

Kejadian-kejadian belakangan yang berimbas kepada reputasi polisi menyisakan dua cara padang.

Pertama, kejadian-kejadian tersebut boleh jadi menjadi puncak gunung es yang mewakili begitu banyak kejadian-kejadian yang sama yang belum terungkap.

Kedua, kejadian-kejadian belakangan bisa terungkap karena keberanian polisi - polisi baik di dalam institusi kepolisian yang berani bersikap tegas melawan segala bentuk penyalahgunaan wewenang polisi, sehingga ekspektasi publik kepada institusi kepolisian masih sangat berpeluang untuk dipulihkan.

Dengan kata lain, dengan cara pandang kedua, publik masih bisa berharap bahwa keberadaan polisi-polisi baik di dalam institusi kepolisian tidak saja bisa menghancurkan puncak es tersebut, tapi sekaligus bisa merobohkan gunung yang mengendap di bawahnya.

Dan soal ini, saya termasuk orang yang sependapat dengan Ron Paul, politisi Partai Republik Amerika Serikat. "Most police officers are good cops and good people," kata Ron Paul suatu ketika.

Dengan kata lain, empati dan ekspektasi publik bisa diraih kembali oleh kepolisian, jika Kapolri dan polisi-polisi baik lainnya di dalam institusi kepolisian kita bisa segera menunjukkan aksi heroik penegakan hukum di satu sisi dan menjalankan kehidupan yang penuh dengan empati terhadap rakyat banyak di sisi lain.

Lebih dari ini, selain heorik dan empatik, institusi Polri harus benar-benar bisa lebih solid, baik ke dalam maupun ke luar.

Rumor soal perpecahan, kubu-kubuan di internal Polri, atau rumor soal adanya kekuatan internal yang ingin merongrong kepemimpinan Polri hari ini, jika benar, sepatutnya segera dieliminasi.

Tujuannya, agar persepsi "polisi baik" tidak saja disandang oleh orang per orang, tapi juga disandang oleh Kepolisian secara institusional.

Untuk itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo harus bisa meyakinkan publik bahwa beliau memang berani membersihkan institusinya dari oknum-oknum aparat yang berpotensi berjalan sendiri di luar visi Kapolri di satu sisi dan berpotensi merusak institusi kepolisian di sisi lain alias aparat-aparat yang berkategori ikan berkepala busuk itu.

Pendek kata, yang dibutuhkan publik adalah polisi yang solid secara institusional di satu sisi, serta polisi yang baik nan heroik, bukan penikmat heroin dan sabu-sabu, polisi yang empatik, bukan yang arogan yang menihilkan nyawa seorang bawahan dan menyerbu suporter bola dengan gas air mata, di sisi lain. Semoga.






Penulis: Jannus TH Siahaan 
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
Reactions