RAYA PUBLIK.COM
Lumajang – Kritikan pedas pada Perhutani terkait dengan kegiatan tebangan pohon Damar di Desa Burno petak 14H sebanyak 1427 pohon dengan luas 12,50 hektar yang masuk wilayah kerja RPH Senduro tersebut disampaikan tokoh masyarakat Desa Burno, Edi Santoso.
Terkait tebangan yang dilakukan Perhutani, pihaknya sangat tidak setuju. “Karena untuk menjadikan hutan seperti semula, itu tidak mudah. Butuh waktu panjang untuk penyadaran masyarakat, betapa pentingnya fungsi hutan. Menjaga serta melestarikan eksestensi sumberdaya alam,” ujarnya.
Sementara itu, menyoroti akan hal tersebut Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang H Akhmat ST mengungkapkan jika banjir dan longsor yang sering terjadi akhir-akhir ini karena banyaknya hutan yang sudah gundul.
"Banjir bandang di Ranu Pane dan tanah longsor di Argosari misalnya, adalah fakta nyata bahwa telah terjadi ketidakseimbangan fungsi ekologi di area tersebut", ungkap politisi senior dari Partai berlambang Ka’bah itu.
Menurut H Akhmat, penebangan pohon yang dilakukan dengan skala besar yang tidak memperhatikan lingkungan, itu menjadi faktor pemicu bencana. "Kita tidak pungkiri penanaman produk pertanian masyarakat misalnya, berdampak positif kepada perekonomian warga, tapi jauh daripada itu dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan, yang membahayakan keselamatan masyarakat itu sendiri", ujarnya.
H Akhmat menyatakan, harus ada langkah nyata dari pemerintah agar bencana tanah longsor dan banjir bisa diminimalisir. Disisi lain, masyarakat utamanya yang berada di sekitar hutan juga turut aktif dalam menjaga kelestarian hutan.
Di lain pihak, Deddy Hermansjah, Ketua LSM Raja Giri Lumajang menilai bahwa penebangan yang dilakukan oleh Perhutani di kawasan hutan negara yang masuk di dalam wilayah desa Burno tersebut tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan.
Menurutnya, Pengelolaan hutan haruslah berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari harus menjaga keseimbangan antara tiga pilar utama, yakni: ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Penebangan hutan yang dilakukan secara bertubi-tubi beberapa tahun terakhir itu membuat masyarakat yang bermukim di sekitar hutan menjadi khawatir. Dan jika melihat kondisi di lapangan, penebangan hutan di Desa Burno tepatnya tepi jalan menuju Ranu Pane tersebut dilakukan secara masif oleh Perhutani dengan mengabaikan fungsi ekologi, "Faktanya pasca kegiatan tebangan sebelumnya, Perhutani belum pernah berhasil melakukan reboisasi”, ungkapnya.
Walaupun Deddy juga mengetahui jika pohon-pohon yang ditebang itu merupakan pohon kayu keras di kawasan hutan negara dengan status kawasan hutan produksi yang dikelola oleh pihak Perhutani.
"Itu memang pohon kayu keras yang ditanam di kawasan hutan negara dengan status kawasan hutan produksi yang dikelola oleh pihak Perhutani, tapi harus tetap diperhatikan bahwa keberadaan pohon-pohon itu menjadi penyangga bagi kawasan di sekitarnya”, ucap Deddy saat ditemui RayaPublik.Com di sekretariat LSM Raja Giri di sela-sela kesibukannya mempersiapkan kegaitan penghijauan, Minggu (09-10-2022) .
Ia juga menambahkan, “Apakah fakta nyata terjadinya bencana banjir bandang di Ranu Pane dan tanah longsor di Argosari yang terjadi kemarin itu, tidak cukup menjadi contoh bahwa telah terjadi ketidakseimbangan fungsi ekologi di area tersebut karena banyaknya lahan kawasan hutan negara yang telah berubah fungsi?”
Ditegaskannya pula, “Jika Perhutani KPH Probolinggo meneruskan tebangan, sama halnya dengan menjemput bencana”, tandas Deddy dengan nada geram.
Upaya konfirmasi kepada Administratur Perum Perhutani KPH Probolinggo Ida Jatiana melalui sambungan telepon untuk menanyakan, apakah penebangan di Desa Burno itu akan terus dilakukan? Mempertimbangkan saat ini musim penghujan. Apalagi telah terjadi bencana banjir dan tanah longsor di beberapa lokasi. Seperti yang terjadi di Desa Ranu Pane Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang kemarin. Sampai berita ini diterbitkan sepertinya yang bersangkutan enggan untuk memberikan jawaban. (H)